Jakarta (Kemenag) --- Kementerian Agama telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Pencatatan Perkawinan. PMA No 19 tahun 2018 ini merupakan penyempurnaan dari PMA No 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.
“Ada perubahan nama dari PMA sebelumnya tentang Pencatatan Nikah, menjadi Pencatatan Perkawinan. Ini karena disesuaikan istilahnya dengan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,” terang Sekretaris Ditjen Bimas Islam, Tarmizi Tohor di Jakarta, Senin (17/09).
Menurutnya, PMA ini mengatur hal ihwal pencatatan perkawinan, mulai dari pendaftaran kehendak perkawinan, pengumuman kehendak perkawinan, pelaksanaan pencatatan perkawinan, hingga penyerahan Buku Pencatatan Perkawinan (berupa kartu elektronik).
“PMA ini akan menjadi pedoman penghulu dan petugas Kantor Urusan Agama (KUA) dalam melaksanakan tugas pencatatan perkawinan,” kata Tarmizi.
Selengkapnya, silahkan klik: PMA No 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan
PMA ini juga mengatur sejumlah hal baru. Persyaratan wali misalnya, dalam PMA ini tidak lagi diukur dari usia, tapi hanya dari kriteria baligh. Dalam PMA 11/2007, kriteria wali ditetapkan berdasarkan usia (sekurang-kurangnya 19 tahun).
Hal lainnya yang diatur dalam PMA ini antara lain, perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan beragama Islam wajib dicatat dalam Akta Perkawinan yang dilakukan oleh KUA Kecamatan. Pencatatan perkawinan bisa dilakukan setelah dilakukan akad nikah.
“Setelah akad nikah, pasangan suami istri memperoleh Buku Pencatatan Perkawinan dan Kartu Perkawinan,” terang Tarmizi.
Menurut Tarmizi, PMA ini juga mengatur masalah Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (P4), pengembangan aplikasi sistem informasi manajemen perkawinan, serta ketentuan tentang perjanjian perkawinan. Selain itu, PMA 19/2018 juga mengatur pencatatan perkawinan warga negara Indonesia dengan asing atau campuran.
Disebutkan bahwa perkawinan campuran antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan beragama Islam yang berbeda kewarganegaraan dan salah satunya berkewarganegaraan Indonesia, maka itu dicatat sesuai ketentuan perundang-undangan. “Pencatatannya bisa dilakukan di KUA Kecamatan atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri,” tegasnya.
Selain perkawinan campuran, pencatatan perkawinan warga negara asing juga bisa dicatat di KUA Kecamatan. Syaratnya, perkawinan itu dilakukan antarwarga asing yang beragama Islam. “Perkawinan antar WNA beragama Islam kini bisa dicatatkan di Indonesia,” tegasnya.
Adapun untuk perkawinan warga Indonesia di luar negeri, PMA ini mengatur bahwa itu bisa dilakukan di Kantor Perwakilan RI. Catatannya, bukti perkawinan itu harus dilaporkan di KUA tempat tinggal suami atau istri paling lambat setahun setelah kembali ke Tanah Air. (Thobib)
0 komentar:
Posting Komentar